Wednesday, October 8, 2008

Short Story

The Street Angels
“ Itu Bian datang!”
Serentak sekumpulan anak-anak itu berlari menyongsong seorang remaja pria yang baru muncul dari balik tikungan. Kaki – kaki kecil mereka yang telanjang bergesekan dengan aspal panas, namun mereka tak peduli. Botol plastik berisi pasir dan rangkaian tutup botol logam yang menjadi tumpuan hidup mereka sudah mereka simpan di dalam sebuah kotak bekas mie instan.
“ Kak Bian bawa makanan kan?”tanya salah satu gadis yang bertubuh paling kecil. Namanya Endah, dia ditemukan di tong sampah 6 tahun lalu dan dirawat oleh seorang kakek pensiunan pegawai negeri. Namun tahun lalu kakek itu meninggal dunia dan keluarga mereka tidak mau menerima ‘anak yang tidak jelas asal-usulnya’ di dalam keluarga mereka dan sejak saat itu Endah bergabung dengan komunitas yang bersamanya sekarang.
Bian,nama remaja pria itu, mengangguk kecil. Ia mengusap rambut Endah yang kemerahan karena terbakar matahari dengan halus,lalu mencubit pipi gadis itu yang kulitnya makin hari makin menghitam. Bian mengajak mereka semua pergi ke salah satu taman kota yang tidak terawat dan memilih tempat yang teduh dibawah jembatan rel kereta. Mereka duduk membentuk lingkaran, saling menyender untuk sekedar menghilangkan rasa penat.
“ Nih, Kak Bian bawa nasi! Masing-masing bagi dua,ya?” Bian mengeluarkan kantong plastik kresek hitam dan mengeluarkan beberapa buah nasi bungkus. Anak- anak itu nampak cerah wajahnya, terlihat dari senyuman dan mata mereka yang bersinar. Bian membagikan mereka masing -masing 1 bungkus nasi untuk berdua.
“ Eits, cuci tangan dulu baru makan!” Bian mengingatkan anak-anak itu. Mereka semua tertawa, lalu adu cepat mencuci tangan di sebuah keran yang sudah berkarat. Sesudah mencuci tangan, seperti rutinitas yang dilakoni Bian tiap minggu ini, ia akan memimpin doa.
“ Tuhan, terima kasih hari ini aku bisa makan. Mungkin ada teman-temanku di tempat lain yang belum makan, tapi jadikanlah perut mereka kenyang Tuhan. Dan jadikan makanan ini berkah bagi kami dan jagalah kami dalam tiap detik nafas kami Tuhan. Amin.”
Kemudian anak-anak itu menyerbu makanan mereka dengan lahap. Mereka makan dengan lahap sambil tertawa tawa, mereka tidak mengeluh biarpun isi nasi bungkus itu hanya sekeping tempe dan tahu. Bian yang duduk menyender pada dinding jembatan hanya bisa tersenyum melihatnya. Seuntai perasaan damai menyelip dalam hatinya.
Bian tidak memikirkan tabungan uang jajannya minggu ini yang ludes. Tidak juga ingat bahwa ia sampai harus rela pulang jalan kaki demi menghemat ongkos. Padahal uang jajan dan ongkos yang diberikan Papa tidak pernah kurang,bahkan berlebih. Sampai saat ini orang tuanya belum mengetahui tindakan Bian tersebut.
Anak-anak itu selalu menanti kedatangan Bian tiap minggu. Biasanya Bian datang pada hari Sabtu, jalan kaki. Dan selalu bawa makanan. Setelah makan Bian akan bercerita pada mereka, dengan suaranya yang jernih, hingga anak-anak yang sudah kenyang jatuh tertidur.
Setiap kali Bian datang, kondisi mereka berbeda-beda. Kadang mereka sudah bisa membeli sedikit nasi untuk dibagikan ramai-ramai, kadang mereka hanya mampu beli es susu kedelai yang dijajakan pedagang di terminal,kadang belum makan 3 hari. Kadang pula mereka terlihat amat lesu karena tempat mereka tidur digusur, kadang pula mereka terlihat bersemangat karena cukup tidur. Kenyataan yang amat miris bagi Bian. Ironis sekali hidup ini, batinnya. Di saat yang satu hidup serba mewah dan berkecukupan,bahkan lebih,anak-anak yang tidak berdosa itu justru bergelimpangan di jalan,berjuang agar tetap hidup.
“ Sudah habis Kak Bian!” seru mereka. Bian tersenyum, lalu membantu mereka membuang sampah bekas makan mereka ke dalam tong sampah. Sesudah itu mereka kembali duduk membentuk lingkaran menghadap Bian.
“ Hayo, Kak Bian sudah hafal belum nama kami?” tanya seorang bocah lelaki berkaus Manchester United yang sudah amat lusuh dan kebesaran.
“ Sudah dong! Sony, Ajeng, Ratni, Endah,Kiki, Nabil, Budi, Ayub, Tio,Dani,Mirna,Lilis!” Bian menyebutkan nama mereka satu persatu sambil menunjuk yang mana orangnya. Anak-anak itu bertepuk tangan dan tertawa gembira—mungkin mereka senang ada yang menyadari bahwa mereka ‘ada’?
“ Ayo, kali ini Kak Bian mau cerita tentang apa?” Kiki yang rambutnya sudah mencapai bahu karena tidak pernah dipangkas, menatap Bian lekat. Bian tertawa kecil.
“ Ayo semuanya ambil posisi!”
Anak-anak itu bergerak dengan gembira. Mereka berbaring di rumput tebal, mata mereka menerawang jauh ke atas.Apakah mereka pernah menyesali nasibnya?
“ Ini kisah nyata.Dulu,di sebuah kota di Jerman,ada seorang anak yang sangat tinggi rasa ingin tahunya. Namanya Albert Einstein.Dia….,”
Bian terus bercerita, kadang diselipi canda sehingga anak-anak itu tercekikik geli. Kombinasi perut yang terisi, angin yang cukup sejuk, tubuh yang lelah dan tentu saja suara jernih Bian dengan cepat membawa mereka ke alam mimpi.Ya,dunia dimana mereka dianggap ada,dan tidak perlu berjuang sendiri untuk bertahan hidup.
Bian mengusap ujung matanya. Ia tidak pernah bisa mengerti mengapa ada yang tega membuang dan tidak memperdulikan anak-anak ini? Mereka lahir dalam keadaan yang sama dengan jutaan bayi lainnya, dalam keadaan suci. Apa salah mereka,ya Tuhan?
Bian bangkit dari duduknya, membersihkan rumput yang menempel pada bajunya lalu ia menarik nafas panjang. Ya Tuhan,jaga mereka. Malaikat-malaikat yang bertumbuh di jalanan,yang ditempa oleh kerasnya kehidupan,panasnya terik matahari,dinginnya angin malam. Tapi mereka malaikat,yang senantiasa membawa kedamaian dalam hati Bian.
***
“ Rabian!”
Bian menoleh. Anida,gadis cantik di angkatannya. Kulitnya putih,tubuhnya semampai,rambutnya berkilau. Entah mengapa,tiap kali Bian melihat Anida, yang muncul justru refleksi Endah,Ajeng,Ratni dan lainnya. Kulit mereka yang kecokelatan terpanggang matahari. Tubuh mereka yang kurus kurang gizi. Dan rambut mereka yang kemerahan dan kering, tanda tak disuplai asupan gizi yang memadai.
“ Rabian,kamu sudah dengar belum tentang toko baru di ruko dekat sekolah?”tanya Anida manis, sambil mengelus ujung rambut panjangnya yang mencapai dada.
“ Belum.” Bian memutuskan untuk terus berjalan. Omongan Anida pastinya bukan sesuatu yang penting,setidaknya menurut Bian.
“ Duh,kok bisa sih? Itu café merangkap toko permen. Dari luar sih keliatannya nyaman. Pulang sekolah kita kesana,bagaimana?”
“ Aku sibuk Nida.” Bian terus berjalan menuju kelas. Guru-guru di SMP nya sangat tegas dalam urusan PR,dan Bian ingin memeriksa PRnya sekali lagi.
“ Duh,sibuk apa sih? Kamu ngga ada pertemuan ekskul kan Bi?” Anida merengut manja. Rabian Affandi, teman sekelasnya dulu waktu kelas 2 memang sejak dulu pendiam dan dingin. Tapi itu justru memancing rasa ingin tahu Anida,mengapa Rabian begitu berbeda?
“ Hmmmm.” Bian hanya menggumam kecil. Baginya café dan toko permen bukan tempat yang penting. Pikirannya justru melayang pada anak-anak itu. Ini hari Kamis. Apa mereka sudah makan lagi sejak hari Sabtu?
“ Pokoknya nggak ada tapi-tapian. Kamu harus nemenin aku ke sana. Titik. Oke? Dadah Bian!” Anida langsung berlari meninggalkan Bian sendiri.
Tapi Anida tidak tahu,yang ada di pikiran Bian adalah kapan ya mereka terakhir merasakan permen?
***
Ternyata Anida benar. Tempat baru itu terletak di deretan paling pojok ruko yang ada di dekat sekolahnya. Ruko itu tampak mencolok diantara yang lainnya. Dindingnya dicat warna shocking pink dan kuning cerah. Sangat shiny dan eye-catching.
Bian tidak mampu kabur karena Anida sudah mencengkram tangannya kuat-kuat. Tapi tepat sebelum masuk Bian berkata “ Tapi aku tidak bisa membayarimu Nid.” yang sempat membuat Anida tertegun. Tapi ia berpikir cepat.Uang tidak penting saat ini. Yang penting ia bisa berdekatan dengan Rabian dan bisa secepatnya membuka sisi kepribadian Rabian,yang entah mengapa begitu memicu rasa ingin tahunya.
“ Its okay Bi. Yuk.”
Tapi dugaan Rabian bahwa bagian dalamnya lebih shiny dan colorful dibandingkan cat di luar ternyata salah. Bagian dalamnya justru sangat nyaman,didominasi warna cokelat. Sangat homey. Penuh sofa-sofa empuk dan meja bundar yang serasi. Dindingnya terbuat dari kayu,sederhana tanpa terlalu banyak hiasan. Konter pemesanannya pun mungil. Hanya ada meja kaca berisi display beragam cake, sebuah menu yang ditulis dengan kapur diatas blackboard, serta yang menakjubkan bagi Bian; sebuah rak kayu raksasa,penuh berisi beragam jenis lollipop dan permen. Lolipop aneka warna dalam toples bening, permen aneka bentuk yang menggiurkan. Lagu-lagu folk dan akustik mengalun dengan volume yang pas. Dan satu lagi yang menarik perhatian Bian, wanita yang menjaga konter.
“ Kita duduk disana aja!” Anida menarik tangan Bian untuk duduk di sofa di dekat jendela besar. Bian tidak berkutik. Mereka duduk di sana, dan lalu kembali bangkit menuju konter pemesanan.
“ Selamat datang.” Ucap wanita itu,simpel. Ia tampak mempesona dalam balutan sweter hijau toska dan celana katun cokelat. Rambutnya panjang hingga pinggang,dengan model belah tengah tanpa poni. Ia tersenyum lembut, tapi entah mengapa seperti memiliki misteri tersendiri. Anida hanya tersenyum singkat lalu sibuk mengamati menu.
“ Aku mau pai lemon meringue,yang small aja,terus iced vanilla latte deh.” Akhirnya Anida memilih itu.
“ Dan aku mau licorice lollipop. Ada rasa cinnamon?”
“Ya.Tentu saja.” Wanita itu mencatat pesanan Anida. Kemudian Anida permisi ke toilet dan hanya tinggal Rabian dengan wanita itu.
“ Kamu pesan apa?”
“per…men.”
“ Kamu suka lollipop Rabian?”
Bian tersentak.
“ Kamu tahu namaku Rabian?”tanyanya takjub. Wanita itu tersenyum lagi, sambil sibuk meletakkan pie lemon meringue pesanan Anida di piring. Ia bisa merasakan gestur Bian yang kaku pada Anida,pasti gadis itu yang mendekatinya.
“ Tentu saja aku tahu. Aku Amaya.”
“ Senang bertemu denganmu Amaya.”kata Bian sopan.”Boleh aku bertanya?”
“ Tentu.” Kali ini Amaya meracik iced vanilla latte untuk Anida.
“ Darimana kamu mendapatkan semua lollipop ini?”tanya Bian,lirih,matanya terpaku pada rak itu. Pemandangan yang cantik,tidak artificial. Ratusan jenis dan warna lollipop aneka rasa berjejer di hadapannya.
“ Tidakkah kamu membacanya Rabian? Semua permen,bahkan semua makanan dan minuman disini, home made. Buatanku.” Amaya tersenyum.
“ Semua buatanmu?”
“ Ya. Kenapa?” Amaya tersenyum. Lagi-lagi terlihat sisi misterius Amaya. Tiba-tiba Amaya berjalan menuju rak permen, lalu menjangkau salah satu toples berisi lollipop berwarna hijau bening. Ia mengeluarkan satu dan berjalan kembali ke konter dimana Bian berdiri.
“ Untukmu.” Amaya mengulurkan lollipop itu.
“ Untuk aku?” Bian mengerjap,tidak yakin.
“ Ya! Rasa apel,favoritmu kan?” Amaya berbisik pelan,mengalirkan energi magis yang aneh. Bian merasakan bulu kuduknya merinding. Bagaimana Amaya tahu?
“ Trims.” Bian akhirnya mengambil lollipop itu dan memasukannya ke kantong.
“ Ya… dan kau mau pesan apa Bian?” Amaya menatap mata Bian lekat.
“ Mungkin…secangkir chamomile tea.” Bian gugup, ia memesan menu yang pertama terbaca olehnya. Amaya tersenyum tipis lagi,misterius.
“ Tidakkah kau lebih menyukai segelas jus jeruk dingin? Dingin air es,bukan es batu? Aku akan membuatkannya untukmu.” Amaya lagi-lagi melepaskan senyum tipisnya yang penuh misteri. Ia berbalik,hen- dak menuju dapur.
“ Amaya!”
Langkahnya terhenti,ia berbalik menghadap Bian.
“ Kenapa kau memberi—?”
“ Karena aku menyukaimu,Rabian Affandi.” Amaya berhenti sejenak. Ia tersenyum lagi,namun sedikit lebih lebar. Bian mengerjapkan matanya,lagi-lagi bulu kuduknya merinding. Amaya menatapnya lekat.
“ Nikmatilah. Oh ya, aku akan segera kembali dengan jus jerukmu.”
***
Sepanjang perjalanan pulang dari ruko, Bian melamun. Ia melamunkan Amaya. Sosoknya yang tinggi semampai. Rambutnya yang indah,lurus sepinggang dengan model sederhana. Kulitnya yang khas ala wanita Indonesia. Dan tentu saja,senyumnya yang misterius. Ia menaksir umur Amaya sekitar 20 tahun.
“ A…ma..ya.”
Di sebelah Rabian, Anida masih berjalan sambil merengut. Selama di café Bian benar-benar diam. Sampai akhirnya Anida lelah menanyai Rabian. Yang membuatnya cemburu, ia tadi menangkap Bian mencuri pandang ke arah wanita penjaga konter itu.Apa yang dilihat Rabian darinya? Rambutnya tanpa model, dan selera fashion yang buruk. Apa karena dia lebih tua?
“ Rabian!”
Bian tersentak kaget dari lamunannya. Ia menoleh pada Anida, yang wajahnya sudah merengut tak karuan, membuat wajah cantiknya tidak enak dilihat.
“ Kamu naksir dia?”
“ Hah?”
“ Ya, itu, gadis penjaga konter itu.”
“ Oh. Amaya. Tentu tidak Nida. Meskipun ya,kuakui dia menarik. Tapi dia lebih pantas jadi pacar kakakku,kan?”
Anida mencibir. Huh. Rabian memang beda. Tapi kali ini, Anida mendefinisikannya sebagai aneh.
***
“ Kak Bian!”
Bian buru-buru menurunkan jendela mobilnya. Hari ini supir Papa khusus menjemputnya untuk makan siang bersama di restoran. Tentu Bian tidak menolak, ia membayangkan uang jajannya yang utuh dapat ditabung.
“ Sony!”
“ Iya Kak Bian. Ini aku, Sony.” Anak kurus itu tersenyum lebar, meskipun peluh membanjir di keningnya. Tangan kanannya memegang setumpuk Koran.
“ Kamu bekerja sekarang Son?”
“ Iya Kak. Sejak hari Rabu,aku, Nabil,Ayub dan Dani jadi loper Koran. Tio dan Budi menemani anak-anak wanita mengamen di perempatan sana. Biasa,supaya tidak diganggu anak lain.” Sony tersenyum lebar. Setitik rasa haru muncul di hati Bian. Betapa mereka saling menyayangi satu sama lain,padahal tidak ada ikatan darah sama sekali.Atau karena mereka hanya memiliki satu sama lain—dikala dunia terlalu angkuh mengakui keberadaan mereka?
“ Baguslah. Bagaimana keadaan kalian?”
“ Alhamdulillah hari Selasa kami sudah makan Kak. Hasil mengamen kami lumayan untuk beli nasi. Kakak besok datang?”
“ Tentu.” Bian tersenyum. Tapi tiba-tiba raut wajah Sony berubah.
“ Tapi…,”Sony agak ragu.” Endah jatuh sakit Kak. Demam.”
Tak ayal,Bian kaget. Endah,si kecil yang ceria itu,sakit? Cepat-cepat ia mengeluarkan uang sakunya.
“ Ini,aku beli semua koranmu. Belikan makanan dan obat untuk Endah ya.” Ucap Bian, meletakkan uang itu di telapak tangan Sony. Sony tersenyum lebar, ia memberikan seluruh korannya. Ia mengucapkan terima kasih dan hendak pergi,namun tiba-tiba berbalik lagi.
“ Kak Bian…,”
“ Ada apa lagi Son?”
“ Sebenarnya, kemarin malam kami semua mendengar Endah meracau dalam tidurnya. Ia demam tinggi dan amat gelisah.” Kata Sony sambil menggaruk kepalanya.”Tapi aku takut merepotkan Kak Bian.”
“ Tidak apa-apa. Ayo cepat katakan!” aku mendesak Sony, takut lampu berubah menjadi hijau.
“ Endah meracau,ia ingin makan lollipop. Endah memang pernah cerita, dulu kakek yang merawatnya senang membelikannya lollipop. Tapi kami tidak bisa membelinya, kami pikir lebih baik menabung untuk membelikannya obat dan makanan. Jadi…bisakah Kakak membelikan Endah lollipop? Tidak usah yang mahal,Kak,yang penting Endah senang.” Ujar Sony akhirnya.
Lolipop. Bian teringat satu nama. Amaya.
“ Oke Son. Besok siang aku akan datang membawa makanan dan lolipopnya. Endah ditidurkan dimana?”
“ Di tempat kemarin Kakak memberi kami makan. Itu tempat baru kami.”
“ Oke. Sampai jumpa,hati-hati ya Son!” ucap Bian begitu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Sony mengangguk dan segera lari. Dalam mobil, Bian hanya diam. Lolipop untuk Endah.
***
“ Hey, kau lagi Rabian.”
Kali ini Amaya mengenakan kaus ungu muda,cardigan putih dan rok krem. Tetap mempesona seperti pertama kali Bian bertemu dengannya. Suasana café itu ramai namun tenang.
“ Mau beli apa kali ini?”
“ Lolipop.” Bian menatap puluhan toples yang berjejer rapi di dihadapannya. Oh Tuhan, rasa apakah favorit Endah?
“ Rasa apa?”
“ Aku tidak tahu.” Bian menerawang. Apakah rasa jeruk? Strawberry? Anggur?
“ Untuk siapa?” Amaya meletakkan sikunya di konter.
“ Untuk adikku.” Kata Bian tanpa pikir panjang.”Ia demam.”
“ Demam?” Amaya tersenyum,kali ini Bian seperti melihat guratan sedih di senyum itu.” Biar kutebak Bian. Ia akan menyukai rasa madu,menurutku.”
“ Madu?”
“ Ya. Gadis kecil yang ceria,bukankah itu adikmu?” Amaya memberi tekanan pada kata adik. Bian tersentak. Lagi-lagi Amaya…
“ Ya,betul. Itu dia.”
“ Ia akan menyukainya. Percayalah.”
Bian memutuskan untuk mempercayai Amaya. Ia hendak mengeluarkan uang, namun Amaya menolak.
“ Dengarkan aku, Bian. Aku ingin membahagiakan dia juga. Biarlah lolipopku menemaninya, tanpa ada pembayaran. Aku tulus.” Amaya menatap mata Bian lekat.” Lebih baik kau cepat,Bian.”
Bian tertegun. Ia sadar hari makin siang. Ia mengucapkan terima kasih banyak pada Amaya lalu berbalik hendak pergi ketika ia mendengar Amaya bergumam.
“ Sampaikan salamku pada Endah. Katakan padanya, malaikat akan menjaganya. Cahaya akan datang untuknya. Gadis hebat memang si Endah itu…,” gumam Amaya,pandangannya kosong seperti orang melamun. Bian lagi-lagi terdiam mendengarnya. Tapi ia tidak punya banyak waktu, ia berlari,secepatnya,menuju taman kota yang tidak terpakai itu.
***
“ Endah!”
Rasanya Bian ingin menangis. Endah tampak amat lemah. Tubuhnya terkulai lemas tak berdaya. Matanya tertutup. Tak ada senyum menghiasi wajahnya. Tak ada matanya yang bersinar. Bian duduk di samping Endah,dimana ia ditidurkan di atas tumpukan kardus dan diselimuti dengan sebuah kain tipis yang usang.
“ Endah, tebak Kak Bian bawa apa?”
Anak-anak lainnya saling berpandangan.
“ Kak Bian bawa lollipop buat Endah!” Bian merangkul tubuh lemas itu. Suhunya amat panas. Menurut Sony tadi ia sudah memberikan Endah obat warung—satu-satunya yang mampu dibeli mereka.
Bian mengecup dahi Endah. Ia membuka kepalan tangan Endah,meletakkan lollipop yang diberikan Amaya. Ia berbisik di telinga Endah.
“ …namanya Amaya. Dia bilang kau suka rasa madu. Benarkah? Ceritakan padaku tentang enaknya perman rasa madu.” Bian berbisik lirih,suaranya bergetar. Tak ada reaksi. Namun Bian merasakan genggaman Endah melonggar,suhu tubuhnya menjadi agak dingin.
Ketika Bian mengusap air matanya, ia mendengar suara Endah.
“ Kak Bian…,”
“ Endah!”
“ Terima kasih ya Kak…mau memperhatikan kami. Aku sayang Kak Bian. Tapi malaikat-malaikat itu menantiku di sana. Terima kasih permennya ya Kak Bian. Katakan pada kak Amaya, madu memang kesukaanku. Nyanyian para malaikat itu sudah mendengung di telingaku. Teman-teman,aku akan melihat kalian bersama mereka ya…,” tiba-tiba Endah bicara,kata-katanya lancar,namun memang agak tersendat.
“ Endah, kamu mau kemana—?”
“ Sampai jumpa semua…………….,”
Genggaman Endah melonggar hingga permen itu jatuh. Jantungnya berhenti berdetak. Waktu berhenti berputar. Bian melepas kepergian Endah dengan sebuah kecupan panjang di dahinya, dan diiringi isak tangis teman-temannya. Bian menahan air matanya, digendongnya Endah ke rumah sakit terdekat agar bisa secepatnya dikubur secara layak, diiringi teman-temannya yang juga mengikuti Bian,menahan tangis mereka. Endah tidak boleh melihat mereka bersedih.
Dan betapa pedih hati Bian mengetahui penyebab kepergian Endah. Endah terkena demam berdarah. Terang saja, Endah bergaul dengan alam bebas tiap hari. Dan dunia menunjukkan kearoganannya kali ini. Satu nyawa,harus melayang. Direnggut oleh alam liar. Namun Bian berlega hati,setidaknya ia tahu Endah tidak akan kelaparan di atas sana.

Bekasi,8 October 2008
0.12 AM,Bella Luna backsound

1 comment:

Anonymous said...

jah, itu nama temen gua dipake ahahah